Thursday, May 03, 2007

PEnDidikAN yang TAK MEMANUSIAKAN


Komunitas pendidikan dasar dan menengah secara umum sedang resah dan gelisah menanti hasil ujian nasional ... komunitas air mata guru menambah resah komunitas di Medan dengan keberaniannya membongkar kecurangan pelaksanaan ujian, bagaimana di tempat Anda?

Hasil ujian nasional jadi ukuruan keberhasilan menteri, para gubernur terpengaruh atau dipengaruhi sehingga para kepala dinas provinsi berupaya mencapai hasil terbaik, kepala dinas kotamadya punya konsep yang sama mengarahkan kepala sekolah untuk mencapai hasil terbaik ... sederet angka telah dipatok untuk dicapai ... tak ada yang kurang dari 50 % (berapa persen di tempat anda?)

Kepala sekolah mengarahkan guru untuk pencapaian hasil yang terbaik, jika cara dan strategi sesuai dengan etika dan peraturan yang ada tak masalah ... tetapi kalau murid diberi tahu kunci jawabnya atau membiarkan murid menyontek atau lainnya ... bukankah hal itu menodai martabat guru dan martabat pendidikan. Hanya untuk mengejar target kelulusan siswa.

Apakah prioritas pendidikan sesempit dan sedangkal target itu? Bagaimana dengan masalah fundamental dehumanisasi, dekulturisasi, dan deindonesianisasi! Atau, memang tidak penting dibandingkan realisasi badan hukum pendidikan yang kontroversial, standardisasi setengah jadi, ujian nasional yang kian konfliktif, dan obsesi
berkompetisi yang tidak meyakinkan?

Lima puluh tahun dari sekarang, saat seluruh bangsa telah lengkap dicerdaskan melalui strategi dan standar UN, apa yang pasti terjadi? Jika konsep yang salah itu diteruskan, tak mustahil jutaan anak bangsa, sepi tetapi pasti, akan terbunuh sebelum mati.

Ketika pendidikan nasional yang falsafahnya memanusiakan, membudayakan, dan mengindonesiakan menghasilkan yang sebaliknya, disitu terjadi kriminalisasi pendidikan.

Atas nama pendidikan, kita menghasilkan realitas antipendidikan. Karena itu, seperti mengingkari konstitusi, yang muncul justru tragedi Cliff Muntu dalam bentuk yang morbid; mewujudkan kriminalisasi in optima forma.

Kriminalisasi pendidikan terjadi jika manusia—perumus kebijakan dan pengelola pendidikan—menangani amanah dengan sikap yang salah. Kesalahan terjadi ketika yang dipercaya menangani pendidikan ternyata tidak peduli falsafah tentang hakikat manusia, realitas kehidupan, dan bagaimana “ilmu sekolah” dapat berdampak positif
dalam peradaban manusia.

Pandangan yang mendasari perilaku pendidik tak dibenarkan dogmatis atau spekulatif. Bahkan tidak cukup hanya dengan common sense. Indikator keberhasilannya bukan pada target, melainkan pada makna. Peserta didik adalah manusia, bukan angka.

Tidak seorang pun memiliki hak moral berpretensi sebagai pendidik hanya karena kedudukannya dilindungi kekuasaan. Ketika birokrat tampil sebagai pendidik, ia harus menjadi personifikasi nilai kehidupan yang diperjuangkan. Jika tidak, ia hidup dalam kepalsuan, kalau bukan kemunafikan. Kegairahannya, potensinya, aspirasinya, hak pribadinya, semua akan teratrofi oleh UN. Kalau ini bukan kriminalisasi pendidikan, lalu apa?

Diilhami oleh tulisan Prof. Dr. Winarno Surakhmad

Labels:

4 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Iya, dikala pendidikan menjadi ajang kriminalisasi......semua mata tertuju padanya....

Nanti juga akan lewat dengan Hits yang lebih baru lagi pak.

9:12 AM  
Blogger DEDI DWITAGAMA said...

Hit boleh beda, memanusiakan warga negeri tak boleh dilupa, thx 4 comment and link my blog

4:26 PM  
Blogger Smk Pgri 31 Jakarta said...

jangan lupa tujuan awal pendidikan .....Tuk mencerdaskan bangsa.....

7:35 AM  
Blogger DEDI DWITAGAMA said...

sa7 ... thx 4 comment

1:29 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home