Mari kita bermimpi dan berhitung. Melalui Visi 2030 apa yang kira-kira dialami anak Indonesia yang lahir tahun 2007? Ketika berumur 23 tahun nanti, mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi, kalau mendapatkan pekerjaan akan membentuk angkatan kerja dengan pendapatan per kapita 18.000 dollar AS per tahun. Mereka akan berpenghasilan Rp 15 juta per bulan, atau Rp 500.000 per hari dengan kurs Rp 10.000. Merekalah sebagian dari 285 juta jiwa penduduk Indonesia.
Visi Indonesia 2030 itu ketika dipertemukan dengan realitas aktual, terbentang jurang besar, kata Romo Pujasumarto. Pada tahun 2006, misalnya, dengan penduduk lebih dari 220 juta orang, kondisi kehidupan ekonomi Indonesia masih sangat memprihatinkan.
Kemiskinan adalah kenyataan hidup. Sampai Februari 2005, misalnya, 35,10 juta warga negara, artinya 15 persen dari 97 juta penduduk—membengkak menjadi 35,1 juta orang (15,97 persen) dari jumlah penduduk Indonesia—menderita kemiskinan. Jumlah itu meningkat menjadi 39,05 juta (17,97 persen) pada bulan Maret 2006. Merekalah orang miskin dengan biaya hidup di bawah Rp 14.000 per hari per orang, artinya per bulan Rp 420.000. Ketika kemiskinan diukur dengan biaya hidup sekitar Rp 18.000 per orang per hari, jumlah orang miskin Indonesia menjadi 108,78 juta atau sekitar 49 persen penduduk Indonesia.
Kalau data di atas disandingkan dengan data pengangguran, dua entitas yang punya relasi saling memengaruhi, dijumpai betapa negeri ini secara kualitatif merosot. Laporan PBB yang terakhir, Mei 2007, menyebutkan tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Sepanjang tahun 2000-2006 tingkat pengangguran di sebagian besar negara ASEAN stabil atau menurun, sebaliknya di Indonesia naik dari 6 persen menjadi 10,4 persen.
Jurang besar visi dan realitas itulah yang dihadapi. Visi Indonesia 2030 tidak memperhitungkan tantangan riil yang dihadapi. Visi memang mimpi. Sehingga ketika dibuat dengan mengabaikan faktor ruang kontekstual, visi menjadi utopia. Ngawang-awang di langit takkan tercapai. Padahal ada hitung-hitungan yang dibuat Tujuan Pembangunan Abad Milenium (Millenium Development Goals/MDGs). MDGs dengan rinci menegaskan tingkat capaian pembangunan sampai 2015.
Mengenai bidang pendidikan yang tidak dirumuskan Visi 2030, MDGs menargetkan pada 2015 semua anak di mana pun dapat menyelesaikan pendidikan dasar. "Saya melihat rumusan MDGs realistis dan terukur baik dalam hal menanggulangi kemiskinan dan kelaparan maupun pendidikan," kata Tukiman Taruna. Dengan tidak menyebutkan pendidikan dan semata-mata capaian ekonomi, rupanya Visi 2030 beranggapan,
"Sejauh perekonomian membaik apalagi estimasi pendapatan 50 dollar AS sehari, sejauh itu pula pendidikan semakin mencerdaskan bangsa."
MDGs mencantumkan 41 indikator. Semua indikantor terukur dengan jelas, misalnya, target menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya pada tahun 2015. Indikatornya, prevalensi anak balita kurang gizi, proporsi penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minimal 21.000 kalori per kapita per hari. Sementara dalam Visi 2030 masih sangat global dan umum.
Bicara mengenai angkatan kerja berarti juga bicara tentang pendidikan. Artinya, apakah angkatan kerja nanti sudah siap dan sudah dengan baik dipersiapkan. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan sebuah fakultas Universitas Gadjah Mada, menunjukkan ketika kita berbicara tentang perkembangan anak, 76 persen keberhasilannya sangat tergantung dari program intervensi yang kita lakukan. Intervensi antara lain dilakukan lewat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diluncurkan
pemerintah tahun 2006.
Ketika program intervensi dilakukan terhadap kesejahteraan keluarga, kontribusinya hanya 50 persen bagi perkembangan anak. Sementara pendapatan 18.000 dollar AS per tahun menurut Visi 2030 mau digenjot. Berdasar penelitian ini sumbangannya terhadap perkembangan anak hanya 50 persen.
Pendidikan = jembatanHitung-hitungan logis diskusi sehari itu menegaskan persyaratan yang disampaikan kepala negara. Mengutip Presiden, "bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mewujudkan mimpi yang besar", perwujudan itu memerlukan sejumlah syarat. Salah satu jembatan yang perlu mendapat perhatian serius adalah pendidikan; bagaimana mempersiapkan anak didik agar mengalami "impian 2030" itu.
Sebaliknya pada saat yang sama, kita memang bangsa gampang lupa, pengidap amnesia.
Dalam konteks pengidap amnesia, tahun 1957 Presiden Soekarno pernah kecewa. Dia kecewa atas pengembangan pembangunan nasional yang perlu diberi basis pada pengembangan sumber daya manusia. Dua puluh lima tahun kemudian kondisi itu tidak jauh berbeda. Menurut Soedijarto, panelis, di tengah kondisi semakin tertinggal jauh dari perkembangan global, tahun lalu Indonesia belum termasuk dalam 10 besar ekonomi .
Menurut Soedijarto, dalam kondisi mencemaskan itu, Indonesia Forum meramalkan tahun 2030 Indonesia akan muncul sebagai salah satu lima besar ekonomi dunia. Perkembangan pesat itu menurut Soedijarto disebabkan keberhasilan mengembangkan pendidikan tinggi.
India, misalnya, yang pada 2005 berada di luar 10 besar diramalkan pada 2040 masuk menjadi nomor tiga. India diramalkan menghasilkan hampir 700.000 sarjana IPA dan teknik yang pada tahun 1990-1991 baru lebih kurang 200.000 sarjana. China yang pada 1990-1991 menghasilkan 200.000 sarjana IPA dan teknik, tahun 2004 menghasilkan lebih dari 500.000 sarjana. AS yang pada 1990-1991 menghasilkan lebih dari 300.000 sarjana IPA dan teknik, tahun 2004 telah menghasilkan 400.000 sarjana.
Cerita sukses mereka menunjukkan bahwa pendidikan, utamanya pendidikan tinggi, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan negara, terutama ekonomi. Karena itu, menarik dipersoalkan Visi Indonesia 2030 kurang mendudukkan peran pendidikan tinggi. Memang tidak langsung disebutkan, pada 2030 Indonesia masuk 10 besar dunia, tetapi bagaimana "jembatan" itu dikembangkan tidak dijelaskan rinci.
Pertanyaannya, bagaimana strategi pendidikan nasional Indonesia menghadapi tantangan ke depan itu. Selain menyangkut dana pendidikan yang belum mencapai 20 persen, AS pada tahun 2005 menyediakan beasiswa 100 miliar dollar AS, di samping dana-dana lain untuk meningkatkan jumlah lulusan bermutu dan kompeten.
Belum ketemuKalau segala ketentuan dalam Pasal 31 UUD 1945, terutama yang terkait Pasal 31 Ayat 2: "setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya," Pasal 31 Ayat 5: "pemerintah berkewajiban memajukan iptek" dilaksanakan secara konsekuen, perkiraan visi Indonesia 2030 bukanlah mimpi besar.
Menurut Soedijarto, pasal-pasal dengan konsekuensi anggaran 20 persen itu mengarahkan, kalau Indonesia akan membangun kehidupan bangsa yang cerdas, amat tergantung keberhasilan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang bermutu dan merata. Hal itu tercermin dari keberhasilan Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang yang didasarkan atas keberhasilannya membangun infrastruktur sebagai bagian
dari fase awal industrialisasi. Infrastruktur dimaksud meliputi fisik, teknologi, SDM, dan kewirausahaan/usaha kecil. Keempatnya prasyarat keberhasilan pembangunan ekonomi.
Dalam hal infrastruktur teknologi yang terkait dengan penyiapan SDM, terlihat jelas hubungan universitas dan produktivitas universitas utamanya bidang iptek. Pada abad ke-21 ini universitas merupakan mesin utama lembaga pendidikan dan riset, dan pembangunan ekonomi berdasar iptek. Karena itu, AS menyediakan anggaran belanja untuk pendidikan tinggi 2,5 persen PDB-nya, sedangkan dana pendidikan bagi SD hingga
universitas di Indonesia hanya 0,2 persen PDB. Akibatnya, walau lulus, tak ada hubungannya dengan dunia industri.
Strategi dan sistem pendidikan di Indonesia terlihat tidak gayut (ketemu), dengan Visi 2030. Praksis pendidikan tidak relevan dengan pembangunan ekonomi, tidak relevan dengan pembangunan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai sebab atau akibat, hal itu terlihat belum dibiayainya secara penuh penyelenggaraan pendidikan dasar, sehingga sekitar 30 persen anak usia SD tidak dapat menyelesaikan pendidikan tingkat SD, hanya 60 persen lulusan SD meneruskan ke jenjang SMP. Dari sisi hukum terlihat tidak dilaksanakannya ketentuan Pasal 12 Ayat 6 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang hak anak untuk memperoleh pelayanan pendidikan sesuai bakat, minat dan kemampuannya.
Penyelenggaraan ujian nasional mempersulit upaya menjadikan sekolah sebagai tempat pembelajaran segala kemampuan, nilai, dan sikap yang diperlukan. Padahal, lembaga pendidikan bukanlah untuk memilih dan memilah mereka dari segi kemampuan kognitif, suatu praksis pendidikan yang a-demokratis. Lebih parah lagi, mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Apalagi dengan kelalaian Indonesia membiayai pendidikan
tinggi, semakin terlihat sulit merealisasikan Visi 2030.
Karena berbagai ketentuan dalam UUD 1945, dan UU No 3/2003 tidak dilaksanakan, artinya perlu tinjauan budaya politik di Indonesia. Tidak dilaksanakannya ketentuan mendasar untuk masa depan bangsa, masih menjadi salah satu karakteristik praktik politik di Indonesia; menunjukkan belum cerdasnya kehidupan bangsa ini.
Diskusi menawarkan jalan keluar. Satu di antaranya bagaimana partai tidak hanya berkutat pada persoalan hak-hak politik, tetapi juga hak-hak dasar sebagai hak asasi manusia, di antaranya hak memperoleh pendidikan baik dan kompeten.
Dengan fokus itu politisi dan birokrat Indonesia memperjuangkan secara serius dalam wacana maupun eksekusi tentang terealisasinya pasal-pasal UUD berikut turunannya, termasuk terealisasinya 20 persen anggaran nasional untuk pendidikan. Kalau tidak, gagal pernyataan Presiden, bahwa "bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa mewujudkan mimpinya".
Visi Indonesia 2030 tetap jadi mimpi besar.
Sumber:
KompasLabels: Memotret
Read more!